Selasa, 05 Juni 2007

PROFIL

Shinta Dewi Maharani


> SUBANG - PROFIL

Bebet dan Kesenian Gembyung
”Yang jelas, saya ingin mengangkat kesenian tradisional Sunda, terutama kesenian Gembyung. Sebab, Gembyung itu merupakan seni buhun (jaman baheula) yang harus kita lestarikan keberadaannya.” Demikian ungkap Bebet Sulaiman mengenai latar belakangnya memperkenalkan kembali kesenian Gembyung ke masyarakat.Singkat, tegas, dan pasti, begitulah memang gaya pria satu ini jika menjawab pertanyaan.
Kesenian Gembyung yang merupakan kesenian tradisional Subang memang beberapa dekade ini telah hilang dari permukaan, akibat maraknya kesenian-kesenian modern. Oleh karena itu, sebagai orang Sunda, Bet Sonlie demikian nama beken Bebet di grup Gembyungnya -- merasa tergugah untuk melestarikan kesenian tradisional warisan leluhur tersebut.
”Sekarang ini kan kita selalu kalah oleh organ tunggal dan seni modern lain. Untuk itu saya merasa berkewajiban untuk memperkenalkan kesenian tradisional Sunda, terutama Gembyung ini kepada generasi muda,” ungkapnya.
Sebagai bentuk kecintaannya terhadap kesenian tradisional Gembyung, bersama rekan-rekan sesama karyawan di Pemkab Subang, Bebet membentuk sebuah paguyuban. Paguyuban tersebut diberi nama Paguyuban Gembyung ”Dangiang Dongdo” dan sudah berdiri sejak tiga tahun lalu. ”Alhamdulillah sejak itu Gembyung mampu berkembang lagi,” kata suami Ati ini menjelaskan.
Menurut pengakuannya, dia sendiri mendirikan paguyuban Gembyung ini terinspirasi oleh kelompok Gembyung dari Gembor, Kec. Pagaden. Ketika itu, kelompok Gembyung tersebut terdiri dari para pria yang usianya sudah menjelang maghrib. ”Namanya juga aki-aki, suara mereka itu pasti kurang enakeun,” tegas Bebet.
Kesenian Gembyung sendiri menurut Bebet awalnya merupakan media penyebaran agama Islam oleh para wali di wilayah Kab. Subang. Maka dari itu, tembang yang mengiri Gembyung adalah shalawatan.
”Tapi karena kita ingin agar Gembyung ini diterima semua lapisan masyarakat, maka kita modifikasi. Kita sesuaikan dengan jaman sekarang ini. Yang tadinya shalawatan, sekarang diganti lagu-lagu Sunda dan sejenisnya,” katanya.
Berkat usahanya melestarikan kesenian Gembyung ini, Bebet beserta rekan-rekan di ”Dangiang Dongdo” kerap diundang dalam acara-acara penting. Tidak hanya di wilayah Kab. Subang, Bebet juga pernah diundang Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) Republik Indonesia . ”Waktu itu kita diundang dalam acara serah-terima jabatan di Dephankam. Acaranya sendiri digelar di Ancol,” kata pria asli Subang kelahiran Januari 1956 ini.
Satu hal yang berkesan baginya dalam acara itu, tiga petinggi Dephankam ikut ngibing dengan diiringi musik Gembyung-nya. ”Saya sampai tidak percaya, padahal mereka itu pangkatnya sangat tinggi. Bahkan saya sampai nangis karena terharu,” ceritanya mengenang acara tersebut.
Tidak hanya itu, pada 28 April 2007 mendatang juga, Bebet akan mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat. Penghargaan tersebut akan dia terima berkat jasanya dalam melestarikan kesenian tradisional Sunda.
Kecintaannya terhadap budaya tradisional Sunda juga tidak hanya diwujudkan dalam kesenian Gembyung. Di padepokan tempat tinggalnya, dia membuat Saung Seni Budaya. Di saung tersebut dia memamerkan beragam perlengkapan tradisional Sunda. ”Ya ada dulang, uluku, dan alat-alat tradisional Sunda lainnya. Saya coba kenalkan ke para pemuda bahwa para leluhur kita dulu menggunakan alat tradisional seperti ini. Ya kalau anak-cucu kita kelak bertanya tentang alat dan seni tradisional Sunda, kita bisa menjelaskan dan memperlihatkannya,” terangnya.
Satu kelompok seni Gembyung sendiri terdiri atas 17 orang dengan alat-alat yang berjumlah banyak pula. Alat-alat tersebut adalah terbang (rebana besar), goong, kendang, dan bedug. ”Ya hampir menyaingi grup Jaipong lah,” candanya. Kesenian rakyat ini biasa dipentaskan dalam upacara-upacara adat seperti mapag cai dan ruatan bumi. (JU-09)***

Tidak ada komentar: